NON LINEAR : perenungan kecil
Aku menolak untuk hidup linier!
Jadi bagian kumpulan titik stasioner,
pada satu sistem non-imajiner.
Karena sebuah langkah yang terprediksi
dari rangkaian titik ekstrapolasi,
hanya membuat kejutan di titik bifurkasi
jadi perulangan pengalaman yang basi!
Itu bukan puisi karya saya, puisi tersebut kebetulan saya temukan tercecer dilantai sebuah blog milik intelektual muda yang sedang menuntut ilmu di Jepang. Dalam pengembaraan saya di dunia virtual, kadang-kadang saya sengaja melongok masuk ke blog-blog orang lain dengan harapan siapa tahu bisa membawa pulang segenggam bait literer ataupun secarik ide kusam berlumuran karat digital. Setidaknya masih ada sisa-sisa sari yang dapat saya hisap.
Puisi itu memikat hati saya, pertama, karena unsur rimanya begitu mengena, kedua, kata-katanya bermandikan aroma ilmiah, ketiga, terasa sekali nuansa pemberontakan seorang anak muda dan setelah membaca puisi itu saya jadi gundah, saya ingat umur saya yang tidak belia lagi, sudah lebih dari seperempat abad ditambah sewindu.
Kenapa saya gundah? Seandainya dulu sewaktu saya masih belia, katakanlah baru lulus kuliah, baru jadi sarjana sudah menemukan puisi itu, mungkin jalan hidup saya tidak seperti ini.
Roh puisi itu cepat sekali merasuk ke dalam jiwa saya, bahkan disaat ini, apalagi sewaktu saya belia dulu. Mungkin jalan yang akan saya lalui penuh tantangan, mendaki, terjerembab, bangkit lagi dan jelas tidak linear seperti sekarang ini. Langkah-langkah kaki saya pastilah sangat dinamis, lincah melewati jalan yang berlubang, menghindari becek dan air kotor tergenang, dan bukan langkah yang statis dan pelan. Kehendak hati saya tentunya menggebu-gebu didorong oleh imaginasi yang liar menggelora, dan bukannya masuk sebuah sistem yang non-imajiner seperti ini. Ya, memang langkah kaki saya saat ini telah terencana karena sistem yang mengaturnya, walaupun kadang-kadang belum bisa ditebak, tapi bisa diprediksi dari jejak kaki yang lampau dan ayunan langkah berikutnya. Dinamikanya dingin dan tidak meletup-letup, paling-paling variasinya ketika ada langkah yang tidak sesuai rencana. Membosankan. Monoton. Ya, sistem yang pegang kendali.
Ah, sudahlah, itu hanya impian anak muda, sekarang tugas didepan sudah menunggu, menata hidup yang sudah teratur ini menjadi hiperbolik, tidak terlalu linear, ya memang saya rasa hidup kita di dunia ini laksana hiperbolik, suatu saat setelah berada dipuncak, kita pelan-pelan menurun tapi tidak sampai ketitik nadir lagi.
Sampai disini, anak muda itu salah, hidup tidak selalu linear, apalagi bagi orang-orang seperti saya yang tiap pagi masih harus selalu membersihkan kaca jendela dari embun ketika ingin melihat ke dunia luar. Tiap pagi kaca itu buram lagi karena embun yang jatuh dan berkumpul, apakah harus saya pecahkan kaca itu? Ah, sudahlah kalau kaca itu pecah, apalagi yang akan dibersihkan tiap pagi. Rutinitas ini kadang-kadang saya nikmati sambil bertanya-tanya akankah ada perubahan diluar sana hari ini setelah kaca ini bersih.
Lain waktu akan saya kembalikan puisi itu ketempatnya lagi, di blog anak muda yang intelektual itu. Paling tidak saya sempat merasakan gejolaknya. Tidak lebih.
Khosla Bhawan, menjelang Winter 2006.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home